Esai  

Drama Politik Desa: Antara Janji Manis dan Realita Pahit di Balik Layar

Ketika Kekuasaan Menjadi Tujuan, Intrik dan Kemunafikan Menyelimuti Setiap Keputusan. Inilah Wajah Sebenarnya dari Politik Desa yang Tak Selalu Seindah yang Dibayangkan.

Raditya
SItuasi politik desa
Ilustrasi - situasi politik di desa

KOLOM DESA —  Politik desa, yang sering kali dianggap sebagai dunia kecil di tengah hiruk-pikuk politik nasional, sebenarnya menyimpan dinamika yang tak kalah kompleks. Dalam kacamata masyarakat awam, desa merupakan tempat yang tenang, penuh gotong royong, dan jauh dari kepentingan pribadi yang sempit. Namun, pada kenyataannya, politik di tingkat desa bisa penuh dengan intrik, konflik kepentingan, dan tak jarang dihiasi dengan kemunafikan.

1. Konteks Politik Desa

Di Indonesia, desa merupakan unit terkecil dalam struktur pemerintahan. Secara administratif, desa memiliki otonomi tersendiri berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Otonomi ini memberikan ruang bagi desa untuk mengatur dan mengurus kepentingannya secara mandiri, termasuk dalam hal pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Kepala desa, bersama dengan perangkat desa lainnya, memiliki peran penting dalam mengelola berbagai sumber daya yang ada, baik itu dana desa, kebijakan pembangunan, maupun layanan publik.

Namun, di balik idealisme otonomi desa tersebut, praktik politik di desa tidak selalu seindah yang dibayangkan. Politik desa sering kali dijalankan dengan cara-cara yang tidak sehat, di mana intrik-intrik politik dan kemunafikan sering muncul ke permukaan. Ada banyak aktor yang terlibat dalam politik desa, termasuk kepala desa, perangkat desa, tokoh masyarakat, dan warga biasa. Masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dan di sinilah muncul potensi konflik.

2. Intrik Politik dalam Pemilihan Kepala Desa

Pemilihan kepala desa atau Pilkades merupakan momen puncak dari dinamika politik di tingkat desa. Proses pemilihan ini sering kali menjadi ajang pertarungan sengit antar kandidat yang ingin memegang kekuasaan. Pada tahap ini, intrik-intrik politik mulai bermunculan. Intrik bisa berupa cara-cara manipulatif yang dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Contoh intrik yang sering terjadi dalam Pilkades adalah:

  • Money Politics (Politik Uang): Politik uang menjadi salah satu bentuk intrik paling umum dalam Pilkades. Kandidat yang memiliki modal besar sering kali menggunakan kekayaannya untuk membeli suara. Masyarakat yang seharusnya memilih berdasarkan visi dan misi kandidat justru tergoda oleh uang yang diberikan. Hal ini menyebabkan terpilihnya pemimpin yang tidak kompeten namun memiliki kekuatan finansial besar.
  • Black Campaign (Kampanye Hitam): Selain politik uang, kampanye hitam juga sering muncul dalam Pilkades. Kandidat yang merasa terancam posisinya sering kali menggunakan cara-cara tidak etis seperti menyebarkan isu negatif atau fitnah tentang lawannya. Ini dilakukan untuk menjatuhkan citra lawan dan mengalihkan perhatian masyarakat dari kekurangannya sendiri.
  • Kroniisme dan Nepotisme: Intrik lainnya adalah praktik kroniisme dan nepotisme. Beberapa calon kepala desa yang memiliki jaringan keluarga atau teman di pemerintahan desa sebelumnya cenderung memanfaatkan hubungan tersebut untuk memuluskan jalannya menuju kursi kekuasaan. Mereka bisa mendapatkan dukungan dari para perangkat desa atau tokoh masyarakat yang berpengaruh karena hubungan personal tersebut.

3. Kemunafikan dalam Pemerintahan Desa

Setelah terpilihnya seorang kepala desa, persoalan tidak selesai begitu saja. Kemunafikan dalam politik desa kerap muncul setelah kemenangan diraih. Seorang kandidat yang sebelumnya berjanji untuk membawa perubahan positif, memberantas korupsi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tak jarang berubah sikap ketika sudah menduduki kursi kekuasaan. Beberapa contoh bentuk kemunafikan yang sering terjadi dalam politik desa antara lain:

  • Korupsi Dana Desa: Salah satu isu terbesar dalam politik desa adalah korupsi dana desa. Banyak kepala desa yang terlibat dalam penggelapan dana desa yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Mereka menggunakan dana tersebut untuk kepentingan pribadi, seperti membangun rumah mewah atau membeli mobil. Ironisnya, mereka sering kali tampil di hadapan publik dengan citra sederhana dan merakyat, padahal di balik itu, mereka sedang menumpuk kekayaan pribadi.
  • Janji Palsu: Sebelum pemilihan, para kandidat sering kali memberikan janji-janji manis kepada masyarakat. Mereka berjanji akan memperbaiki infrastruktur, menyediakan lapangan kerja, atau meningkatkan layanan kesehatan. Namun, setelah terpilih, janji-janji tersebut sering kali tidak terealisasi. Pemimpin desa lebih sibuk mengurus kepentingan pribadinya daripada memenuhi janjinya kepada masyarakat.
  • Ketidakadilan dalam Pembagian Bantuan: Kepala desa yang terpilih sering kali bersikap pilih kasih dalam menyalurkan bantuan. Mereka cenderung memberikan bantuan kepada warga yang mendukungnya dalam pemilihan, sementara warga yang dianggap sebagai lawan politiknya dikesampingkan. Hal ini menyebabkan ketidakadilan sosial dan memperburuk hubungan antar warga desa.

4. Dinamika Politik Elite Lokal

Selain kepala desa dan perangkat desa, aktor lain yang berperan penting dalam politik desa adalah para elite lokal. Mereka bisa berupa tokoh masyarakat, pemuka agama, atau bahkan pengusaha lokal yang memiliki pengaruh besar di desa. Para elite lokal ini sering kali memiliki kepentingan pribadi yang mereka coba lindungi melalui pengaruh politiknya.

Intrik politik di desa sering kali melibatkan para elite lokal ini. Mereka bisa saja menggunakan pengaruhnya untuk mempengaruhi kebijakan desa demi keuntungan pribadi. Misalnya, seorang pengusaha lokal yang memiliki usaha pertanian besar di desa mungkin akan berusaha mempengaruhi kebijakan kepala desa terkait penggunaan lahan atau distribusi air irigasi demi kepentingan usahanya. Hal ini bisa menyebabkan konflik dengan petani kecil yang juga membutuhkan akses terhadap lahan atau air.

Selain itu, para elite lokal juga sering kali menjadi dalang di balik layar dalam pertarungan politik desa. Mereka bisa saja mendukung salah satu kandidat kepala desa demi mendapatkan keuntungan politik atau ekonomi jika kandidat tersebut menang. Dengan demikian, politik desa menjadi tidak lagi murni untuk kepentingan masyarakat luas, tetapi lebih kepada perebutan kekuasaan antar elite.

5. Peran Masyarakat dalam Politik Desa

Masyarakat desa sebenarnya memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan arah politik desa. Namun, sayangnya, banyak masyarakat yang masih bersikap pasif dan apatis terhadap politik. Mereka lebih memilih untuk diam dan menerima kondisi yang ada daripada terlibat aktif dalam proses politik desa.

Selain itu, masyarakat desa juga rentan terpengaruh oleh intrik-intrik politik yang dilakukan oleh para aktor politik di desa. Mereka mudah terpengaruh oleh politik uang atau janji-janji manis yang diberikan oleh para kandidat. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan politik di desa dan kurangnya informasi yang akurat tentang kondisi politik yang sebenarnya.

Masyarakat desa juga sering kali terpecah belah karena adanya perbedaan dukungan politik. Dalam Pilkades misalnya, perbedaan dukungan antara warga sering kali berujung pada konflik sosial yang berkepanjangan. Konflik ini tidak hanya terjadi selama masa kampanye, tetapi bisa terus berlanjut setelah pemilihan selesai, terutama jika pihak yang kalah merasa tidak puas dengan hasil pemilihan.

6. Upaya Mengatasi Intrik dan Kemunafikan dalam Politik Desa

Meskipun politik desa penuh dengan intrik dan kemunafikan, bukan berarti tidak ada solusi untuk mengatasinya. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi politik desa, antara lain:

  • Peningkatan Pendidikan Politik Masyarakat: Masyarakat desa perlu diberikan pendidikan politik yang baik agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh intrik-intrik politik yang dilakukan oleh para aktor politik di desa. Pemerintah, LSM, dan tokoh masyarakat harus aktif dalam memberikan penyuluhan dan informasi yang akurat kepada masyarakat tentang pentingnya partisipasi politik yang sehat dan bersih.
  • Penguatan Sistem Pengawasan: Untuk mencegah terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat desa, perlu ada sistem pengawasan yang lebih ketat. BPD (Badan Permusyawaratan Desa) sebagai lembaga legislatif di desa harus lebih berperan aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan desa. Selain itu, masyarakat juga harus dilibatkan dalam proses pengawasan ini melalui mekanisme partisipatif seperti musyawarah desa atau pengaduan masyarakat.
  • Pemberdayaan Masyarakat: Masyarakat desa perlu diberdayakan agar mereka memiliki kemandirian ekonomi dan tidak mudah tergantung pada bantuan dari kepala desa atau elite lokal. Dengan demikian, mereka tidak mudah terpengaruh oleh politik uang atau janji-janji manis yang sering kali tidak terealisasi.

7. Kesimpulan

Politik desa yang seharusnya menjadi contoh demokrasi di tingkat paling dasar, sering kali penuh dengan intrik dan kemunafikan. Namun, dengan pendidikan politik yang lebih baik, pengawasan yang lebih ketat, dan pemberdayaan masyarakat, intrik dan kemunafikan ini bisa dikurangi sehingga desa dapat menjadi tempat yang lebih adil dan sejahtera bagi seluruh warganya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *