KOLOM DESA — Oleh: Abdul Wahab (Anak Desa Penyangga Taman Nasional Baluran yang kini merantau ke luar pulau)
Baluran, satu kata yang mewakili bentang hayati nan kaya di ujung timur Pulau Jawa, kini memanas tak hanya karena sengatan mataharinya, tetapi juga oleh perdebatan tentang siapa sebenarnya yang berhak “mengklaimnya”. Situbondo merasa gerah, sebab Baluran yang secara administratif masuk wilayah mereka justru lebih dikenal publik sebagai bagian dari Banyuwangi.
Ini bukan sekadar soal lokasi. Ini soal narasi. Soal siapa yang lebih lihai mengemas, membangun, dan memasarkan imaji sebuah destinasi. Dan dalam hal ini, pelaku wisata Banyuwangi jauh lebih progresif—mereka menjadikan Baluran sebagai bagian dari paket eksotisme Sunrise of Java.
Sementara itu, Situbondo, pemilik sah secara geografis, terlambat menyadari bahwa branding adalah kunci masa depan wisata. Ketika Baluran disebut, kebanyakan wisatawan langsung menyambungkannya dengan Banyuwangi.
Situbondo Jenggirat Tangi
Pernyataan Bupati Rio yang menyebut Baluran kerap “diekspor” oleh kabupaten tetangga menjadi pemantik diskusi panas. Dalam istilah orang Oseng, Rio sedang Jenggirat Tangi—terbangun mendadak dan tersadar dari kelengahan.
Pemerintahan baru Rio-Ulfi kini memikul harapan untuk mempercepat pembangunan sektor pariwisata Situbondo. Belajar dari Banyuwangi adalah sebuah keniscayaan, bukan tabu. Kabupaten tetangga ini meniti jalan panjang sejak awal 2000-an. Pada 2002, Banyuwangi menetapkan Perda Pariwisata. Titik balik besar terjadi saat Abdullah Azwar Anas menjabat.
Di tangan Anas, sektor pariwisata bukan sekadar agenda, tapi menjadi tulang punggung pembangunan. Hasilnya konkret: pada 2014, Pendapatan Asli Daerah dari pariwisata mencapai lebih dari Rp1,8 miliar. Meski sempat disorot DPRD karena belum Break Even Point, komitmen tersebut membuahkan reputasi. Banyuwangi meraih Travel and Tourism Club Award (TCTA) dua kali berturut-turut pada 2012 dan 2013, sebagai kabupaten paling kreatif dan konsisten mengembangkan pariwisata.
Dampak ekonomi pun tak main-main. Sektor akomodasi, makanan, dan minuman tumbuh pesat: 8,39% (2012), 8,07% (2013), dan melonjak 10,33% pada 2014.
Baluran: Lebih dari Sekadar Lanskap
Kembali ke Baluran. Potensi Baluran tidak hanya terletak pada savana dan keragaman hayatinya. Ia adalah pintu gerbang bagi pembangunan wisata berkelanjutan yang berpihak pada Desa-Desa penyangganya. Sayangnya, potensi ini belum tergarap maksimal.
Desa Wonorejo memang telah ditetapkan sebagai Desa Wisata Kebangsaan di era Bupati Dadang Wigiarto. Konsep ini mengangkat pluralitas agama dan etnik masyarakatnya sebagai nilai jual utama. Tapi Baluran, dengan segala keindahan ekologisnya, belum menjadi poros utama narasi wisata Situbondo.
Sementara dua desa lainnya—Sumberwaru dan Sumberanyar—masih menanti sentuhan. Padahal, keduanya memiliki potensi besar untuk dikembangkan, tidak hanya sebagai destinasi, tetapi sebagai laboratorium wisata pendidikan: dari edukasi lingkungan hingga kajian ekososial-religius.
Menurut travelandtourworld.id, pasar pariwisata pendidikan global diperkirakan akan tumbuh hingga 607,45 miliar dolar AS pada 2028, dengan laju pertumbuhan tahunan mencapai 12,2%. Ini adalah peluang besar yang tidak boleh dilewatkan Situbondo.
Belum lagi tren wisata minat khusus lain seperti eco trail, nocturism, dan wisata spiritual yang mulai mencuat sebagai tren baru.
Menjaga Baluran, Merawat Kesejahteraan
Wisata seharusnya tidak melulu soal estetika, tetapi juga etika. Baluran tidak boleh hanya menjadi objek eksploitasi narasi. Ia adalah rumah bersama yang perlu dijaga dengan pendekatan partisipatif, ekologis, dan inklusif.
Semangat Rio–Ulfi membuka peluang bagi kerja kolosal membangun “Situbondo Naik Kelas”, namun jalan itu tak akan bisa dilalui tanpa sinergi antara pemerintah, pelaku wisata lokal, dan tentu saja masyarakat Desa penyangga.
Baluran tidak boleh menjadi panggung bagi aktor luar semata. Ia harus menjadi sumber kesejahteraan bagi Desa-Desa yang menjaganya.
Kini waktunya Situbondo berdiri. Bukan untuk bersaing dengan Banyuwangi, tetapi untuk merawat rumahnya sendiri—dengan perasaan bangga, dengan pemikiran cerdas, dan dengan kebeningan nurani demi masa depan Situbondo sendiri.