Bab 1: Malam yang Gelap
Malam itu terasa lebih mencekam di desa Sidomulyo. Angga, seorang pemuda desa yang dikenal gigih, melangkah memasuki hutan dengan hati berdebar. Ia membawa sesaji berupa dupa dan bunga tujuh rupa, sesuai dengan petunjuk sesepuh desa. Angga merasa bertanggung jawab untuk menghadapi Genderowo, makhluk gaib yang konon bangkit karena amarah akibat ulah manusia yang merusak hutan. Hutan yang dahulu lebat kini gundul, dan air sungai yang menghidupi desa perlahan mengering.
Di tengah kabut tebal, suara ranting patah terdengar, membuat Angga terhenti. Udara mendadak menjadi dingin, dan kabut semakin pekat. Mata merah menyala muncul di kejauhan, dan dari bayangan gelap, Genderowo menampakkan dirinya. Tubuhnya tinggi menjulang, kulitnya menyerupai batang pohon tua yang dilumuri lumut, dan suaranya bergemuruh. “Siapa yang berani mengusik ketenangan hutan ini?” tanya Genderowo, membuat Angga gemetar.
Dengan lutut bergetar, Angga memberanikan diri berbicara. “Aku datang bukan untuk mengusikmu, tetapi memohon maaf atas perbuatan manusia yang telah merusak hutan ini,” katanya dengan suara serak. Genderowo tertawa dingin, suaranya bergema di antara pepohonan. “Permintaan maaf? Manusia hanya tahu merusak dan menyesali setelah semuanya terlambat,” balasnya dengan nada penuh amarah.
Namun, Angga tidak menyerah. “Tidak semua dari kami ingin hutan ini hancur. Aku di sini untuk mencari jalan agar desa kami bisa menebus dosa-dosa kami,” kata Angga dengan suara bergetar, tetapi penuh tekad. Genderowo terdiam sejenak, menatap pemuda itu dengan mata tajam, seolah menilai ketulusan hatinya.
Bab 2: Tantangan dari Genderowo
Setelah mendengar penjelasan Angga, Genderowo menyampaikan tantangan yang berat. “Kau dan desamu harus memulihkan hutan ini dalam waktu 40 hari. Kalian harus menanam kembali pohon-pohon yang telah kalian tebang, membersihkan sungai, dan menjaga keseimbangan alam. Jika kalian gagal, maka kutukan akan menimpa desa kalian selamanya,” ujar Genderowo dengan nada tegas.
Angga terdiam, menyadari betapa besar tantangan yang diberikan. Namun, ia mengangguk dengan penuh tekad. “Aku menerima tantanganmu. Kami akan melakukan segalanya untuk memulihkan hutan ini,” katanya. Genderowo memperingatkan bahwa ia akan mengawasi setiap langkah mereka, dan jika mereka melanggar janji, maka murkanya akan datang tanpa ampun.
Setelah pertemuan itu, Angga kembali ke desa dengan hati penuh kegelisahan. Ia tahu bahwa meyakinkan seluruh warga untuk bekerja sama tidak akan mudah. Banyak yang telah menggantungkan hidup mereka pada penebangan pohon dan hasil hutan, sementara lainnya merasa bahwa kutukan dan makhluk gaib hanyalah cerita takhayul belaka.
Namun, Angga tetap bertekad untuk mencoba. Ia mengumpulkan para sesepuh desa, termasuk Pak Lurah dan beberapa warga yang masih peduli dengan keseimbangan alam. Dengan penuh emosi, ia menceritakan pertemuannya dengan Genderowo dan peringatan yang diberikan. Beberapa orang tampak terkejut, sementara yang lain hanya memandangnya dengan skeptis.
Bab 3: Pertentangan di Desa
Pak Lurah, seorang pemimpin desa yang berwibawa tetapi sering kali didorong oleh kepentingan pribadi, berbicara dengan nada sinis. “Angga, apakah kau yakin ini bukan hanya cerita yang kau buat untuk menakut-nakuti kami? Kita sudah hidup dengan hutan ini selama bertahun-tahun. Mengapa sekarang tiba-tiba Genderowo muncul dan menuntut semuanya?” tanyanya.
Namun, sebelum Angga sempat menjawab, seorang sesepuh bernama Pak Wirya, yang dikenal sebagai penjaga adat dan tradisi, angkat bicara. “Kita tidak bisa mengabaikan peringatan ini. Sudah banyak tanda-tanda bahwa hutan kita marah. Tanaman tidak lagi subur, air sungai mengering, dan hewan liar mulai menyerang desa. Semua ini bukan kebetulan,” katanya dengan nada penuh keyakinan.
Perdebatan pun terjadi di antara warga. Beberapa setuju dengan Angga dan ingin memulai upaya pemulihan hutan, sementara yang lain merasa bahwa upaya itu sia-sia. Mereka menganggap bahwa kutukan Genderowo hanyalah mitos yang diciptakan untuk mengontrol mereka. Dalam situasi yang memanas ini, Angga merasa sendirian, tetapi ia tidak akan menyerah.
“Baiklah,” kata Angga akhirnya, dengan suara yang penuh keberanian. “Jika kalian tidak percaya, aku akan memulainya sendiri. Siapa pun yang ingin ikut, akan aku sambut dengan tangan terbuka. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang menyelamatkan diri kita, tetapi tentang masa depan desa ini dan anak-anak kita.”
Bab 4: Langkah Pertama Pemulihan
Keesokan harinya, Angga memulai langkah pertama. Ia dan beberapa warga yang percaya padanya mulai menanam pohon di area yang telah gundul. Mereka menggali tanah dengan tangan, menanam bibit pohon, dan menyiraminya dengan air yang mereka bawa dari desa. Setiap tetes keringat yang jatuh menjadi simbol pengorbanan mereka untuk masa depan yang lebih baik.
Namun, tidak semua warga mendukung. Kelompok penebang liar yang kehilangan mata pencaharian merasa terancam dengan upaya ini. Mereka mendatangi Angga dan kelompoknya dengan nada mengancam. “Kalian pikir bisa menyelamatkan hutan ini hanya dengan menanam beberapa pohon? Kami butuh hidup, dan hutan ini adalah sumber penghasilan kami,” ujar seorang penebang dengan nada marah.
Angga menatap mereka dengan tegas. “Aku mengerti kalian butuh hidup. Tapi hutan ini bukan milik kita untuk dihancurkan. Kita bisa menemukan cara lain, bekerja sama untuk menjaga hutan sekaligus mendapatkan sumber penghidupan,” katanya. Namun, para penebang tidak mau mendengarkan. Mereka merasa terpojok dan mulai merusak bibit-bibit yang baru ditanam.
Pertikaian semakin memanas, tetapi Angga dan kelompoknya tetap teguh. Mereka melindungi pohon-pohon kecil itu dengan segala daya, meskipun harus menghadapi ancaman dan cemoohan. Sementara itu, di kejauhan, Genderowo terus mengawasi, menilai apakah manusia benar-benar layak mendapatkan kesempatan kedua.
Bab 5: Cobaan yang Menguji Kesabaran
Hari-hari berlalu, dan tantangan yang dihadapi oleh Angga dan warga semakin berat. Cuaca tidak selalu bersahabat, hujan lebat datang tanpa diduga, membuat beberapa tanaman terhanyut. Sungai yang mereka coba pulihkan kembali sering tercemar oleh limbah dari hulu. Namun, Angga tidak pernah menyerah.
Di tengah segala kesulitan, Genderowo muncul di hadapan Angga saat ia sendirian di hutan. “Kau tetap berusaha meskipun harapan tampak tipis. Mengapa?” tanyanya. Angga, dengan napas tersengal, menjawab, “Karena ini bukan hanya tentang hidup kami, tetapi tentang masa depan generasi berikutnya. Aku tidak ingin mereka hidup dengan dosa dan kehancuran yang kami tinggalkan.”
Genderowo terdiam sejenak, kemudian berkata, “Kalian telah menunjukkan ketekunan, tetapi itu belum cukup. Aku ingin melihat apakah seluruh desa akan berubah, atau hanya sekelompok kecil yang berjuang.” Dengan itu, Genderowo menghilang, meninggalkan Angga yang kini merasa bahwa beban perjuangannya semakin berat.
Di balai desa, Angga kembali mengumpulkan warga. Kali ini, lebih banyak orang yang mulai mendukungnya, setelah melihat usaha dan ketulusan mereka yang telah berjuang selama ini. Pak Lurah pun mulai melunak, meskipun rasa curiga masih tersisa. Namun, jalan masih panjang, dan kutukan Genderowo masih menggantung di atas desa Sidomulyo.