Ratu Bayangan: Kisah dari Balik Cermin

Ketika jiwa terperangkap dalam dunia cermin, satu-satunya jalan keluar adalah mengorbankan yang lain

Redaksi
Ratu Bayangan: Kisah dari Balik Cermin
Ilustrasi - Ratu Bayangan: Kisah dari Balik Cermin

Malam itu hujan deras. Petir menyambar, menerangi sebentar langit yang gelap gulita. Andini duduk sendirian di ruang tamu rumah tua peninggalan neneknya yang baru ia tempati seminggu terakhir. Rumah itu berdiri di pinggir desa, dikelilingi oleh pepohonan rimbun yang tak tertembus pandang. Meski sudah beberapa kali membersihkan, suasana pengap dan lembab tetap terasa, seolah-olah dinding-dindingnya menyimpan rahasia yang ingin disembunyikan.

Malam itu, Andini baru menyadari adanya sebuah cermin besar di ujung lorong. Cermin itu tersembunyi di balik kain beludru merah yang sudah berdebu. Rasa penasaran membuatnya melangkah mendekat. Ia menarik kain penutup itu dengan perlahan, dan tampaklah cermin besar, dengan bingkai kayu jati yang dipahat halus. Kesan elegan, namun juga menyeramkan.

Andini mengamati bayangannya di cermin. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, dan matanya seolah lebih dalam. Mendadak, sekelebat bayangan muncul di belakangnya. Ia berbalik, tapi tak ada siapa-siapa di lorong yang gelap. Kembali ia memandang ke cermin, dan kali ini, bayangan itu masih ada, tapi ia tak bisa melihat dengan jelas. Bayangan itu seperti kabut, samar-samar di balik pantulan dirinya.

“Andini…” Suara itu terdengar lembut, hampir seperti bisikan. Andini tersentak, menoleh ke belakang sekali lagi, tetapi lorong itu kosong. Ia memutuskan untuk kembali ke ruang tamu, meninggalkan cermin itu dalam kegelapan. Namun, bayangan di cermin tadi terus menghantuinya. Siapa yang memanggil namanya? Dan mengapa suaranya begitu mengenalinya?

Keesokan harinya, Andini mencoba melupakan kejadian itu. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa suara itu hanya halusinasinya saja. Namun, ketika malam datang, perasaan itu kembali menyergap. Ada sesuatu yang mengintai dari balik cermin. Saat ia menutup semua pintu dan bersiap tidur, ia merasa seperti ada yang mengawasinya, membuat bulu kuduknya meremang.

Di tengah malam, terdengar suara langkah kaki dari arah lorong. Suara itu semakin mendekat ke kamarnya, lalu berhenti tepat di depan pintu. Andini menahan napas, merasakan jantungnya berdegup kencang. Pintu kamarnya perlahan berderit terbuka, meskipun ia yakin telah menguncinya tadi. Di dalam kegelapan, samar-samar ia melihat siluet seorang wanita berdiri di ambang pintu.

Wanita itu mengenakan gaun putih yang tampak usang, wajahnya tertutup rambut panjang yang kusut. Ia tidak bergerak, hanya berdiri diam di sana, seperti menatap Andini dari balik rambut yang menjuntai. Andini merasa tubuhnya kaku, tak bisa bergerak atau menjerit.

Perlahan, wanita itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah cermin di lorong.

“Andini…” Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas dan penuh kesedihan. “Tolong aku…”

Setelah kejadian itu, Andini mencari tahu lebih lanjut tentang rumah neneknya. Ia pergi menemui tetua desa, seorang wanita tua bernama Ibu Ranti yang sudah tinggal di desa itu sejak muda.

“Dulu, rumah itu milik keluarga Pak Wiryo,” cerita Ibu Ranti dengan nada lirih. “Anaknya, Ratna, menghilang secara misterius. Beberapa orang mengatakan bahwa Ratna bunuh diri, tapi jasadnya tak pernah ditemukan. Sejak itu, rumah itu dikenal angker, dan tak ada yang berani tinggal di sana.”

Andini merasa merinding mendengar cerita itu. Ia pun bertanya tentang cermin besar di lorong.

“Cermin?” tanya Ibu Ranti sambil mengerutkan kening. “Cermin itu konon milik Ratna. Ada yang bilang, ia sering berdiri di depan cermin itu berjam-jam, seolah berbicara dengan bayangannya sendiri. Setelah ia hilang, cermin itu ditinggalkan begitu saja.”

Malam harinya, Andini memutuskan untuk kembali mengamati cermin tersebut. Kali ini, ia membawa lilin untuk menerangi sekelilingnya. Ketika nyala lilin menerangi cermin, ia melihat bayangan wanita itu lagi, tapi kali ini lebih jelas. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan bibirnya bergerak, seolah-olah mencoba mengatakan sesuatu.

“Ratna…?” bisik Andini dengan suara gemetar.

Bayangan itu tersenyum tipis, namun senyumnya penuh kesedihan. Tiba-tiba, tangan Ratna muncul dari dalam cermin, meraih tangan Andini. Rasanya dingin dan nyata. Andini mencoba menarik tangannya, namun genggaman Ratna begitu kuat.

“Tolong aku… bawa aku keluar dari sini…” Suara itu memenuhi pikirannya, membuatnya merasa seolah-olah terhipnotis. Ia melihat sekeliling dan mendapati dirinya bukan lagi di lorong rumahnya, melainkan di dalam dunia lain, di balik cermin.

Di sisi lain cermin, segalanya tampak mirip dengan rumahnya, tetapi lebih suram. Dinding-dindingnya berlumut, dan setiap sudut tampak gelap. Bayangan Ratna ada di sana, menatap Andini dengan tatapan putus asa.

“Andini, kau harus membantuku keluar. Aku terperangkap di sini sejak lama, dalam cermin ini,” kata Ratna. “Aku ingin bebas, tapi hanya orang dari dunia luar yang bisa membantuku.”

Andini merasa takut, tapi juga kasihan pada Ratna. “Bagaimana aku bisa membantumu?”

“Pecahkan cermin itu dari luar,” jawab Ratna. “Dengan begitu, aku akan bebas…”

Andini tersadar, dan tiba-tiba ia kembali ke lorong. Cermin di depannya tampak seperti biasa, namun tatapan Ratna dari dalam begitu kuat, seolah meminta bantuan terakhirnya.

Keesokan harinya, Andini membawa palu besar dan berdiri di depan cermin. Ia ragu, namun suara Ratna kembali terdengar di kepalanya, “Bebaskan aku, Andini… tolong…”

Dengan tekad bulat, Andini mengayunkan palu, menghantam cermin itu sekuat tenaga. Suara pecahan kaca memenuhi ruangan, dan dari serpihan itu, ia melihat sesosok bayangan keluar, tersenyum penuh syukur sebelum lenyap menjadi asap hitam yang menghilang ke udara.

Namun, ketika Andini menatap serpihan-serpihan kaca itu, ia melihat wajahnya sendiri, tetapi berbeda. Wajahnya kini tersenyum licik, dengan mata yang bukan miliknya sendiri.

Suara Ratna terdengar di benaknya, “Terima kasih, Andini. Sekarang aku bebas… dan kau, selamat datang di cermin…”

Andini berusaha bergerak, berteriak, namun tubuhnya tidak lagi menuruti kehendaknya. Ia terperangkap di dalam cermin, melihat dunia luar melalui pantulan, sementara Ratna telah mengambil alih tubuhnya.

Sejak malam itu, orang-orang di desa mulai memperhatikan perubahan pada Andini. Ia tampak lebih pendiam, lebih dingin, dan terkadang terlihat berbicara sendiri di depan cermin. Sementara itu, jiwa Andini yang asli terperangkap di dalam bayang-bayang, hanya bisa menatap dari balik cermin, menanti seseorang yang mungkin suatu hari akan datang dan membebaskannya.

Baik, berikut adalah lanjutan cerita “Di Balik Cermin” untuk memperpanjang dan memperdalam suasana horornya:

“Di Balik Cermin” – Lanjutan Cerita

Beberapa minggu berlalu sejak Andini terperangkap di dalam cermin. Ia hanya bisa mengamati dunia luar melalui pantulan kaca yang gelap dan kusam. Sementara itu, Ratna, yang kini menggunakan tubuhnya, menjalani kehidupan Andini dengan lancar, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ratna tidak bisa benar-benar memahami dunia modern, dan ini membuat banyak orang di sekitar Andini merasa bingung. Teman-temannya di kantor sering memperhatikan bahwa Andini menjadi lebih aneh, sering melamun, dan melakukan hal-hal di luar kebiasaannya.

Namun, Andini di dalam cermin tidak tinggal diam. Ia mencoba berteriak, memukul kaca cermin setiap kali ada orang yang mendekat. Tetapi usahanya sia-sia; tidak ada yang bisa mendengar suara teriakannya. Suaranya hanya menggema di dalam dunia cermin yang sunyi, hampa, dan dingin. Ruangan di dalam cermin itu mirip dengan dunia nyata, tetapi semuanya tampak abu-abu dan mengambang dalam kesuraman.

Suatu hari, seorang sahabat Andini, Rina, datang berkunjung ke rumah tua itu. Ia merasa ada yang tidak beres dengan Andini sejak terakhir bertemu. Sebagai teman dekat, Rina tahu bahwa Andini sebenarnya memiliki kepribadian yang ceria, penuh semangat. Namun, sekarang Andini yang ia kenal seperti orang asing, dingin, dan tak berperasaan. Rina pun mengajukan pertanyaan langsung.

“Andini, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Rina sambil memperhatikan gerak-geriknya.

Ratna, yang ada di dalam tubuh Andini, hanya menatap Rina dengan senyum yang aneh, senyum yang terasa dingin dan membuat Rina bergidik. “Tentu saja,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi yang meyakinkan.

Namun, sesuatu dalam sorot mata itu membuat Rina merasa ada yang salah. Di hari-hari berikutnya, Rina memutuskan untuk mengamati Andini lebih dekat. Ia mendapati Andini sering berbicara sendiri di depan cermin, terkadang tertawa kecil atau bahkan menangis tanpa sebab yang jelas.

Akhirnya, Rina tak tahan lagi. Ia memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam. Ia pun mencari tahu lebih banyak tentang rumah tua itu, bertanya pada warga desa tentang sejarahnya, hingga akhirnya ia mendengar legenda tentang Ratna yang hilang di depan cermin.

Malam Penyembuhan

Dengan tekad untuk menyelamatkan sahabatnya, Rina datang kembali ke rumah Andini pada malam hari, membawa lilin dan beberapa benda lainnya yang dipercayai dapat membantu membuka jalan komunikasi dengan dunia lain. Rina berdiri di depan cermin besar di lorong, lalu ia menyalakan lilin di sekitar cermin dan mulai berbisik dalam hati, berharap jika benar Andini terperangkap, ia dapat mendengar panggilannya.

Tak lama kemudian, cermin itu mulai bergetar. Kabut samar muncul di permukaan kaca, dan bayangan Andini terlihat di balik kabut, mengetuk kaca dari dalam, berusaha keras untuk menarik perhatian Rina.

“Rina, aku di sini! Tolong aku!” jerit Andini dari dalam cermin. Meski terkejut, Rina merasa lega karena berhasil berkomunikasi dengannya.

“Andini, aku akan menolongmu,” kata Rina sambil menatap cermin. “Apa yang harus aku lakukan?”

Andini di dalam cermin menangis, air matanya mengalir di pipinya. “Kau harus memanggil Ratna keluar. Dia yang merasuki tubuhku. Cermin ini adalah pintu masuknya; aku hanya bisa keluar jika dia bersedia untuk kembali ke dunia cermin.”

Rina menelan ludah. “Tapi, bagaimana aku bisa memanggilnya?”

Andini menatapnya dengan serius. “Pecahkan cermin itu saat bayangannya muncul. Hanya dengan begitu aku bisa terbebas, dan Ratna akan terperangkap kembali di dalam sini.”

Rina mengangguk, lalu mengambil palu besar yang ia bawa dan bersiap untuk memanggil Ratna. Ia menatap dalam-dalam ke cermin itu, memanggil Ratna dengan suara tegas.

“Ratna! Keluarlah!” teriaknya.

Perlahan, bayangan Ratna muncul di dalam cermin. Wajahnya tampak penuh amarah, matanya membara, dan ia mulai meronta, mencoba menghalangi Rina. Tetapi Rina tetap fokus, tak peduli dengan tatapan dingin Ratna yang menakutkan.

“PRAK!”

Rina mengayunkan palu ke cermin dengan sekuat tenaga. Cermin itu retak, namun tidak sepenuhnya pecah. Ia mencoba lagi, dan kali ini, cermin itu hancur berkeping-keping, memantulkan suara yang menggema di seluruh rumah. Bayangan Ratna menghilang dalam sekejap.

Pagi yang Baru

Keesokan paginya, Andini bangun dengan tubuh yang terasa lebih ringan. Ia merasa seperti baru saja keluar dari mimpi buruk panjang. Saat menatap dirinya di cermin kecil kamar, ia melihat wajahnya yang sudah kembali seperti biasa. Namun, cermin besar di lorong kini tinggal pecahan-pecahan tak bernyawa.

Rina datang menghampiri, tersenyum lega melihat sahabatnya kembali. Mereka berdua saling berpelukan, merasa bahagia telah melewati malam mengerikan itu bersama.

Rumah tua itu kini kosong, tak lagi dihantui. Namun, di sudut tersembunyi dalam puing-puing cermin yang pecah, jika diperhatikan baik-baik, seseorang mungkin masih bisa melihat bayangan samar wanita bergaun putih, terperangkap dalam dunia yang tak terlihat.

Ratna masih ada di sana, di balik pecahan cermin, menunggu seseorang yang mungkin suatu hari akan memasuki rumah tua itu dan… membuatnya bebas kembali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *