Tragedi di Desa Sukamaju, Biarkanlah yang Gaib Berjalan

Redaksi
Cerita Tragedi di Desa Sukamaju, Biarkanlah yang Gaib Berjalan
Ilustrasi - Cerita Tragedi di Desa Sukamaju, Biarkanlah yang Gaib Berjalan.

Malam Jumat itu angin berhembus dengan keras di Desa Sukamaju, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Para warga telah terbiasa dengan malam yang mencekam setiap kali malam Jumat tiba, tapi tidak ada yang pernah benar-benar siap menghadapi apa yang akan terjadi malam itu.

Desa Sukamaju, sebuah desa kecil yang terpencil di kaki gunung, selalu dipenuhi cerita-cerita mistis yang diwariskan turun-temurun. Orang tua di desa itu kerap memperingatkan anak-anak mereka untuk tidak keluar rumah selepas senja, terutama pada malam Jumat. “Jangan macam-macam,” begitu mereka selalu berkata, “Kalau sudah malam Jumat, biarkanlah yang gaib berjalan. Kita yang hidup cukup tahu tempat kita.”

Namun, peringatan itu seolah terlupakan oleh beberapa anak muda desa. Reza, Sari, dan Toni—tiga sahabat yang sejak kecil tumbuh bersama—memutuskan untuk mengabaikan semua larangan tersebut. Mereka adalah orang-orang yang selalu meremehkan cerita-cerita tua yang menurut mereka hanya mitos belaka. Pada malam itu, mereka berencana membuktikan bahwa semua cerita itu tidak lebih dari sekadar takhayul yang sengaja dibuat untuk menakut-nakuti.

“Kita hanya perlu pergi ke kebun bambu di ujung desa, berdiri di sana selama satu jam, lalu pulang. Lihat saja, tidak akan ada apa-apa,” kata Reza dengan penuh keyakinan sambil menyusun rencana. Kebun bambu yang ia maksud terkenal sebagai tempat paling angker di desa. Menurut cerita, di sanalah banyak orang pernah hilang secara misterius. Orang-orang percaya bahwa kebun itu adalah gerbang menuju dunia lain, tempat roh-roh jahat berkumpul.

“Apa kalian yakin mau melakukannya?” tanya Sari dengan sedikit ragu, meskipun ia berusaha menyembunyikan ketakutannya.

Toni, yang biasanya tenang dan pendiam, kali ini ikut mendukung gagasan Reza. “Ini hanya tempat biasa. Kita buktikan kalau tidak ada yang perlu ditakuti. Kalau kita bisa melewati malam ini, kita akan menjadi legenda di desa ini.”

Dengan semangat yang membara, ketiganya bersiap untuk pergi ke kebun bambu malam itu. Mereka berangkat tepat pukul sembilan malam, saat suasana desa sudah begitu sunyi, hanya diiringi suara angin yang berdesir dan hembusan halus daun-daun kering yang terseret. Lampu-lampu rumah warga sudah mulai dipadamkan satu per satu, membuat jalanan desa hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang samar.

Jalan menuju kebun bambu itu terletak di ujung desa, melewati sebuah jembatan tua yang konon juga penuh cerita menyeramkan. Mereka berjalan dalam diam, berusaha menahan gemuruh jantung yang berdebar-debar karena ketegangan yang mulai merayap.

Sesampainya di kebun bambu, suasana benar-benar berubah. Di sana, angin yang tadinya berhembus lembut tiba-tiba berhenti. Udara menjadi pengap, dan keheningan yang tak wajar menyelimuti tempat itu. Pepohonan bambu berdiri tegak seperti penjaga yang siap mengintai setiap langkah mereka. Sesekali, terdengar bunyi gemerisik dari daun bambu yang tersentuh angin, atau mungkin sesuatu yang lain.

Reza mengeluarkan ponselnya dan memeriksa jam. “Kita mulai sekarang. Satu jam, dan kita selesai,” katanya dengan suara bergetar, meskipun dia berusaha tetap terlihat tenang.

Awalnya, tidak ada yang terjadi. Mereka berdiri di sana, menunggu sesuatu yang aneh, tapi kebun bambu itu tetap sunyi seperti kuburan. Toni mulai merasa sedikit lebih lega, namun Sari tampak semakin gelisah. “Mungkin kita harus pergi saja,” bisiknya, meskipun ia tahu teman-temannya tidak akan mengindahkan sarannya.

“Tenang saja, Sari. Lihat? Tidak ada apa-apa,” jawab Reza sambil mencoba tersenyum.

Namun, sesaat setelah Reza mengucapkan kata-kata itu, mereka mendengar suara aneh. Awalnya pelan, seperti rintihan yang jauh, tapi semakin lama semakin jelas. Suara itu seperti datang dari dalam kebun bambu, suara seorang wanita menangis. Mereka saling berpandangan, berharap itu hanya imajinasi mereka. Tapi suara itu semakin mendekat, hingga mereka semua bisa mendengarnya dengan sangat jelas.

“Apa itu?” tanya Toni, suaranya bergetar. Mata mereka mencoba mencari sumber suara, tapi tak ada apa-apa di sekitar mereka selain bayangan pepohonan bambu yang menjulang tinggi.

Reza mencoba tetap tenang. “Mungkin hanya angin atau suara binatang,” katanya, meskipun dalam hatinya dia mulai merasakan ketakutan yang sama seperti yang dirasakan Sari.

Namun, tak lama kemudian, di balik kerimbunan bambu, tampak sesosok bayangan perlahan muncul. Bayangan itu berbentuk wanita berambut panjang, mengenakan kain putih panjang yang tampak lusuh dan kotor. Wajahnya tertutup rambut, tapi tubuhnya bergerak perlahan ke arah mereka.

Sari yang pertama kali melihatnya, langsung berteriak histeris. “Reza, Toni! Itu… itu…!”

Mendengar teriakan Sari, Toni dan Reza segera menoleh ke arah yang sama. Wajah mereka seketika pucat pasi saat menyadari bahwa bayangan itu bukanlah ilusi. Wanita itu benar-benar ada, dan semakin mendekat ke arah mereka dengan gerakan yang aneh—seperti menyeret kakinya di atas tanah.

“Toni! Lari!” teriak Reza sambil menarik tangan Toni dan Sari. Tanpa berpikir panjang, mereka semua berlari sekencang-kencangnya meninggalkan kebun bambu, berusaha sekuat tenaga menjauhi tempat itu.

Mereka terus berlari, tapi suara rintihan wanita itu semakin keras, seolah-olah mengikuti mereka. Tak ada lagi yang mereka pikirkan selain menyelamatkan diri. Setelah berlari cukup jauh, mereka akhirnya sampai di jembatan tua yang mereka lewati sebelumnya.

Namun, sesampainya di sana, langkah mereka terhenti. Di tengah jembatan, sosok wanita itu sudah berdiri menunggu mereka. Wanita itu tidak lagi merintih, tapi kini terdengar tertawa pelan, tertawa yang mengerikan.

“Bagaimana dia bisa sampai di sini?” bisik Toni dengan suara bergetar, keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Reza yang biasanya berani kini hanya bisa terdiam. Tidak ada jalan lain untuk kembali ke desa kecuali melewati jembatan itu, tapi dengan sosok menyeramkan itu berdiri di sana, mereka semua tahu tidak mungkin untuk lewat tanpa menghadapi bahaya.

Tanpa peringatan, wanita itu mulai bergerak ke arah mereka. Setiap langkahnya terdengar berat, seperti menyeret sesuatu yang tak terlihat. Wajahnya masih tersembunyi di balik rambut panjangnya, tapi tertawanya semakin keras, menggema di tengah malam yang sunyi.

Sari tidak bisa lagi menahan ketakutannya. “Tolong! Siapa pun! Tolong kami!” teriaknya, meskipun dia tahu tidak ada yang akan mendengar di tengah malam seperti ini.

Ketika wanita itu semakin mendekat, Reza tiba-tiba teringat sesuatu. Dia mengeluarkan sebuah jimat kecil dari kantong celananya—jimat yang diberikan neneknya sebelum mereka pergi.

“Nenek bilang ini bisa melindungi dari roh jahat,” bisik Reza sambil memegang erat jimat itu. Dia menatap Toni dan Sari dengan penuh harap. “Kita coba, ini satu-satunya harapan kita.”

Dengan tangan gemetar, Reza mengangkat jimat itu dan mengarahkannya ke wanita itu. Tapi sesuatu yang mengejutkan terjadi. Bukannya berhenti, wanita itu justru tertawa semakin keras. “Kalian pikir jimat itu bisa menghentikanku?” suara wanita itu terdengar serak, namun jelas dan mengerikan.

Reza, Toni, dan Sari membeku di tempat mereka berdiri, sementara sosok wanita itu semakin mendekat. Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Lalu, sekejap mata, wanita itu melompat ke arah mereka.


Keesokan harinya, warga Desa Sukamaju menemukan ketiga sahabat itu terbaring pingsan di jembatan tua. Wajah mereka pucat, dan meskipun mereka hidup, mata mereka tak pernah lagi sama. Tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi malam itu, karena setelah peristiwa itu, Reza, Toni, dan Sari tidak pernah mau menceritakan apa pun. Mereka hanya duduk dalam diam, pandangan kosong, seolah-olah jiwa mereka telah terambil oleh sesuatu yang tidak kasat mata.

Cerita tentang tragedi di kebun bambu pun menyebar ke seluruh desa, memperkuat kepercayaan akan larangan malam Jumat yang selama ini dianggap sebagai takhayul. Dan sejak malam itu, tak ada satu pun penduduk desa yang berani mendekati kebun bambu atau jembatan tua, terutama pada malam Jumat.

Desa Sukamaju kembali menjadi sunyi, tapi setiap kali malam Jumat tiba, angin berhembus lebih dingin, dan suara rintihan itu… masih terdengar dari kejauhan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *