Oleh: Abdul Wahab
Sampah telah menjadi persoalan krusial di berbagai penjuru dunia, tak terkecuali di wilayah pedesaan. Meski kerap terpinggirkan dalam isu pembangunan, persoalan sampah rumah tangga di desa justru kian hari kian mengemuka. Di tengah arus konsumsi modern dan lemahnya sistem pengelolaan limbah, desa-desa pun tak luput dari ancaman kerusakan lingkungan dan degradasi kesehatan akibat sampah yang tidak tertangani secara sistematis.
Pengelolaan sampah rumah tangga di desa sejatinya memerlukan pendekatan yang menyeluruh—baik dari sisi teknis, regulatif, hingga kultural. Tanpa manajemen yang tepat dan kesadaran kolektif yang tumbuh, sampah akan terus menjadi sumber persoalan lintas sektor: dari kesehatan masyarakat, pencemaran tanah dan air, hingga estetika lingkungan yang merosot.
Situbondo sebagai kota santri semestinya memiliki modal sosial dan kultural yang kuat untuk menjadi teladan dalam urusan kebersihan dan pengelolaan lingkungan. Julukan “kota santri” tidak hanya merujuk pada kepanjangan SANTRI—Sehat, Aman, Nyaman, Tertib, Rapi, dan Indah—melainkan juga merefleksikan kondisi masyarakatnya yang berbudaya santri, baik karena banyaknya pondok pesantren maupun kuatnya tradisi religius dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana kita maklumi bersama, dalam tradisi santri terdapat adigium klasik nan kuat makna: An-Nadhafah minal iman—kebersihan adalah bagian dari iman. Prinsip ini menegaskan bahwa kebersihan bukan sekadar urusan fisik, melainkan cerminan kualitas hubungan spiritual seorang hamba dengan Tuhannya. Maka ketika derajat keimanan meningkat, mestinya pula kebersihan lingkungan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perilaku keseharian.
Namun, kenyataan yang kita saksikan hari ini di sejumlah desa di Situbondo justru memperlihatkan ironi. Sampah menjadi masalah yang nyata dan kompleks—tidak hanya dari segi kesehatan dan lingkungan, tetapi juga mencerminkan lemahnya internalisasi nilai kebersihan dalam kehidupan sosial masyarakat. Tumpukan sampah di saluran irigasi, pembakaran terbuka yang mencemari udara, serta belum adanya sistem pengelolaan sampah yang terpadu menjadi pemandangan yang jamak.
Ini bukan hanya soal teknis manajemen sampah. Ini juga soal iman dan budaya. Maka, penting bagi kita semua—pemerintah desa, masyarakat, tokoh agama, dan santri—untuk menjadikan persoalan sampah sebagai agenda bersama yang mendesak. Pemerintah desa perlu mengambil inisiatif membentuk unit pengelola sampah berbasis RT atau dusun, menyediakan tempat pengumpulan sementara, serta mendorong terbentuknya bank sampah desa yang terintegrasi dengan edukasi warga.
Tak kalah penting, pesantren-pesantren sebagai pusat nilai dan pendidikan keislaman perlu dilibatkan secara aktif dalam kampanye budaya bersih. Para santri bisa menjadi agen perubahan, penggerak kesadaran baru di tengah masyarakat: bahwa menjaga kebersihan lingkungan bukan sekadar gaya hidup, tapi juga bagian dari praktik keimanan.
Masjid dan musala pun mesti berfungsi sebagai pusat penyadaran lingkungan. Dakwah yang disampaikan setiap Jumat bisa memuat pesan-pesan ekologi Islam. Bahwa membuang sampah sembarangan adalah tindakan yang merusak tatanan dan mencederai nilai maqashid syari’ah dalam menjaga jiwa dan alam.